MAHA RSI MARKADEYA DAN SEJARAH BUJANGGA WAISNAWA
SEJARAH SINGKAT MAHA RSI MARKADEYA DAN SEJARAH BUJANGGA WAISNAWA

Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah Maharsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya terkena penyakit, banyak di antaranya meninggal. Akhirnya Beliau kembali pulang ke pasramannya di Gunung Raung (Jawa Timur). Di sanalah Beliau beryoga, ingin tahu apa penyebab hingga bencana menimpa para pengikutnya. Akhirnya mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan tersebut.
Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali. Kali ini mengajak pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca Dhatu di lereng Gunung Agung tersebut. Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka daerah tersebut diberi nama Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat Maharsi Markandya menanam Panca Dhatu kemudian menjadi Pura, yang diberi nama Pura Besakih.
Entah berapa lama Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah barat dan akhirnya sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi Subak. Di tempat ini Maharsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik.
Oleh karena-Nya tempat itu juga disebut Swarda yang artinya serba ada. Keadaan ini bisa terjadi atas kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya Kahyun atau Adnyana. Dari kata Kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya Taru, kemudian menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah Pura, sebagai kenangan terhadap Pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Pura Gunung Raung. Di sebuah bukit tempat-Nya beryoga juga didirikan Pura yang dinamai Pura Payogan, yang letaknya di Campuan Ubud. Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah. Berikutnya Maharsi Markandya pergi ke barat dari Payogan itu, dan sampai disana juga didirikan Pura dineri nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.

Pada zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakertha (Mpu Kuturan). Rtu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan Pacaruan Walisumpah ke atas. Karena Sang Pendeta mampu membersihkan noda di Bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang masih keturunan Maharsi Markandya, di massa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dibobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Bujangga Waisnawa. Pada massa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Maharsi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti dengan Mpu Jagathita. Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya (1077 M), yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andonaamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa. Demikan seterusnya.
Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya. Sampai terakhir massa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bhagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi sebuah kesalahan Sang Guru Bujangga, dimana Beliau selaku Acarya (Guru) telah menikahi siswanya , yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini Beliau akan dihukum. Tetapi Beliau menghilang dan kemudian diketahui menetap di wilayah Tabanan.
Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Wangsa Bujangga Waisnawa keturunan Maharsi Markandya. Setelah kedatangan Dahyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping Raja di Bali. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam system Wangsa oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluaraga Wangsa Bujangga Waisnawa tidak dimasukan lagi sebagai Kasta Brahmana.
Meskipun begitu untuk mengenang jasa-jasa keturunan Bujangga Waisnawa, sebagian keturunan diangkat sebagai Rsi oleh Raja Dalem, setelah Beliau mendapat Pawisik. Rsi –Rsi tersebut ditugaskan di beberapa daerah di Bali yakni di Negara, Gianyar, Buleleng, dan daerah lainnya. Dan untuk mengenangnya juga, semua keturunan dari keluarga Bujangga Waisnawa tetap dihormati sebagai keturunan Brahmana meskipun tanpa gelar nama Kasta Brahmana. Buktinya Pedharmaan untuk keturunan Bujangga Waisnawa yang ada di Pura Besakih yang didirikan oleh Maharsi Markandya dan keturunan-Nya di beri nama Pedharmaan Ida Brahmana Bujangga Waisnawa.
keren,,,
BalasHapus